Apakah Kecerdasan Spiritual Itu (Spiritual Intellegence )?

Apakah Kecerdasan Spiritual Itu (Spiritual Intellegence )?

| | 7 komentar

Spiritual Quotient
Kecerdasan spiritual atau spiritual intelligence atau spiritual quotient (SQ) ialah suatu intelegensi atau suatu kecerdasan dimana kita berusaha menyelesaikan masalah-masalah hidup ini berdasarkan nilai-nilai spiritual atau agama yang diyakini. Kecerdasan spiritual ialah suatu kecerdasan di mana kita berusaha menempatkan tindakan-tindakan dan kehidupan kita ke dalam suatu konteks yang lebih luas dan lebih kaya, serta lebih bermakna. Kecerdasan spiritual merupakan dasar yang perlu untuk mendorong berfungsinya secara lebih efektif, baik Intelligence Quotient (IQ) maupun Emotional Intelligence (EI). Jadi, kecerdasan spiritual berkaitan dengan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. 
Sumber:Widodo Gunawan, tersedia dalam http://suaraagape.org/wawasan/Ei2.php.

Hasil Penelitian para psikolog USA menyimpulkan bahwa Kesuksesan dan Keberhasilan seseorang didalam menjalani Kehidupan sangat didukung oleh Kecerdasan Emosional (EQ – 80 %), sedangkan peranan Kecerdasan Intelektual (IQ) hanya 20 % saja. Dimana ternyata Pusatnya IQ dan EQ adalah Kecerdasan Spiritual (SQ), sehingga diyakini bahwa SQ yang menentukan Kesuksesan dan Keberhasilan Seseorang. Dalam hal ini IQ dan EQ akan bisa berfungsi secara Baik/Efektif jika dikendalikan oleh SQ.
Hati mengaktifkan nilai-nilai kita yang paling dalam, mengubahnya dari sesuatu yang kita pikir menjadi sesuatu yang kita jalani. Hati tahu hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh Pikiran. Hati adalah sumber keberanian dan semangat, integritas dan komitmen. Hati adalah sumber energi dan perasaan mendalam yang menuntut kita belajar, menciptakan kerjasama, memimpin dan melayani. 

Hati Nurani akan menjadi pembimbing manusia terhadap apa yang harus ditempuh dan apa yang harus diperbuat, artinya setiap manusia sebenarnya telah memiliki sebuah Radar Hati sebagai pembimbingnya. Sebagaimana yang udiungkapkan JalaludinRumi : “Mata Hati punya kemampuan 70 kali lebih besar, untuk melihat kebenaran daripada dua indra penglihatan "

Pengertian SQ (Spiritual Quotient), Menurut Danah Zohar, kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan yang bertumpu pada bagian dalam diri kita yang berhubungan dengan kearifan diluar ego atau jiwa sadar. Pandangan lain juga dikemukakan olehMuhammad Zuhri, bahwa SQ adalah kecerdasan manusia yang digunakan untuk berhubungan dengan Tuhan. Asumsinya adalah jika seseorang hubungan dengan Tuhannya baik maka bisa dipastikan hubungan dengan sesama manusiapun akan baik pula.

Ternyata setelah disadari oleh manusia, bahagia sebagai sebuah perasaan subyektif lebih banyak ditentukan dengan rasa bermakna. Rasa bermakna bagi manusia lain, bagi alam, dan terutama bagi kekuatan besar yang disadari manusia yaitu Tuhan. Manusia mencari makna, inilah penjelasan mengapa dalam dalam keadaan pedih dan sengsara sebagian manusia masih tetap dapat tersenyum. Karena bahagia tercipta dari rasa bermakna, dan ini tidak identik dengan mencapai cita-cita.

Kecerdasan spiritual (Spiritual Intelligence). Ini adalah kecerdasan manusia dalam memberi makna. Perawat yang memiliki taraf kecerdasan spiritual tinggi mampu menjadi lebih bahagia dan menjalani hidup dibandigkan mereka yang taraf kecerdasan spiritualnya rendah. Dalam kondisi yang sangat buruk dan tidak diharapkan, kecerdasan spiritual mampu menuntun manusia untuk menemukan makna.

Manusia dapat memberi makna melalui berbagai macam keyakinan. Ada yang merasa hidupnya bermakna dengan menyelamatkan anjing laut. Ada yang merasa bermakna dengan membuat lukisan indah. Bahkan ada yang merasa mendapatkan makna hidup dengan menempuh bahaya bersusah payah mendaki puncak tertinggi
Everest di pegunungan Himalaya. 

Karena manusia dapat merasa memiliki makna dari berbagai hal, agama (religi) mengarahkan manusia untuk mencari makna dengan pandangan yang lebih jauh. Bermakna di hadapan Tuhan. Inilah makna sejati yang diarahkan oleh agama, karena sumber makna selain Tuhan tidaklah kekal.

Ada kesan yang salah bahwa, para orang sukses bukanlah orang yang relijius. Hal ini disebabkan pemberitaan tentang para koruptor, penipu, konglomerat rakus, yang memiliki kekayaan dengan jalan tidak halal. Karena orang-orang jahat ini 'tampak' kaya, maka sebagian publik mendapat gambaran bahwa orang kaya adalah orang jahat dan rakus, para penindas orang miskin. Sebenarnya sama saja, banyak orang miskin yang juga jahat dan rakus. Jahat dan rakus tidak ada hubungan dengan kaya atau miskin.
Para orang sukses sejati, yang mendapatkan kekayaan dengan jalan halal, ternyata banyak yang sangat relijius. Mereka menyumbangkan hartanya di jalan amal. Mereka mendirikan rumah sakit, panti asuhan, riset kanker, dan berbagai yayasan amal. Dan kebanyakan dari mereka menghindari publikasi. Berbagai studi menunjukkan bahwa para orang sukses sejati menyumbangkan minimal 10 persen dari pendapatan kotor
untuk kegiatan amal, bahkan saat dulu mereka masih miskin. Mereka menyadari bahwa kekayaan mereka hanyalah titipan dari Tuhan, 'silent partner' mereka.

Akhirnya melalui kecerdasan spiritual manusia mampu menciptakan makna untuk tujuan-tujuannya. Hasil dari kecerdasan aspirasi yang berupa cita-cita diberi makna oleh kecerdasan spiritual. Melalui kecerdasan spiritual pula manusia mampu tetap bahagia dalam perjalanan menuju teraihnya cita-cita. Kunci bahagia adalah Kecerdasan Spiritual. Kecerdasan spiritual (SQ) berkait dengan masalah makna, motivasi, dan tujuan hidup sendiri. Jika IQ berperan memberi solusi intelektual-teknikal, EQ meratakan jalan membangun relasi sosial, SQ mempertanyakan apakah makna, tujuan,dan filsafat hidup seseorang.

Menurut Ian Marshall dan Danah Zohar, penulis buku SQ, The Ultimate Intelligence, tanpa disertai kedalaman spiritual, kepandaian (IQ) dan popularitas (EQ) seseorang tidak akan memberi ketenangan dan kebahagiaan hidup. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, berbagai pakar psikologi dan manajemen di Barat mulai menyadari betapa vitalnya aspek spiritualitas dalam karier seseorang, meski dalam menyampaikannya terkesan hati-hati. Yang fenomenal, tak kurang dari Stephen R Covey meluncurkan buku The 8th Habit (2004), padahal selama ini dia sudah menjadi ikon dari teori manajemen kelas dunia. Rupanya Covey sampai pada kesimpulan, kecerdasan intelektualitas dan emosionalitas tanpa bersumber spiritualitas akan kehabisan energi dan berbelok arah.

Di Indonesia, krisis kepercayaan terhadap intelektualitas kian menguat saat bangsa yang secara ekonomi amat kaya ini dikenal sebagai sarang koruptor dan miskin, padahal hampir semua yang menjadi menteri maupun birokrat memiliki latar belakang pendidikan tinggi. Asumsi bahwa kesarjanaan dan intelektualitas akan mengantar masyarakat yang damai dan bermoral digugat Donald B Caine dalam buku: Batas Nalar, Rasionalitas dan Perilaku Manusia yang sedang dibicarakan banyak orang. Mengapa bangsa Jerman yang dikenal paling maju pendidikannya dan melahirkan banyak pemikir kelas dunia pernah dan bisa berbuat amat kejam? Pertanyaan serupa bisa dialamatkan kepada Inggris, Amerika Serikat, dan Israel.

APA CIRI ORANG YANG MEMILKI SPIRITUAL INTELLEGENCY.

Lima karakteristik orang yang cerdas secara spiritual menurut Roberts A. Emmons, The Psychology of Ultimate Concerns: (1) kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik dan material; (2) kemampuan untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak; (3) kemampuan untuk mensakralkan pengalaman sehari-hari; (4) kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber spiritual buat menyelesaikan masalah; dan kemampuan untuk berbuat baik. 
Dua karakteristik yang pertama sering disebut sebagai komponen inti kecerdasan spiritual. perawat yang merasakan kehadiran Tuhan atau makhluk ruhaniyah di sekitarnya mengalami transendensi fisikal dan material. Ia memasuki dunia spiritual. Ia mencapai kesadaran kosmis yang menggabungkan dia dengan seluruh alam semesta. Ia merasa bahwa alamnya tidak terbatas pada apa yang disaksikan dengan alat-alat indrianya. Sebagai contoh perawat menyampaikan doa-doa personalnya dalam salat malamnya, mendoakan kesembuhan luka kliennya, memuali tindakan dengan bismillah, mengisi waktu luang dengan Sholat dluha, silaturahmi dengan keluarga klien.

Ciri yang ketiga, terjadi ketika kita meletakkan pekerjaan biasa dalam tujuan yang agung. Konon, pada abad pertengahan seorang musafir bertemu dengan dua orang pekerja yang sedang mengangkut batu-bata. Salah seorang di antara mereka bekerja dengan muka cemberut, masam, dan tampak kelelahan. Kawannya justru
bekerja dengan ceria, gembira, penuh semangat. Ia tampak tidak kecapaian. Kepada keduanya ditanyakan pertanyaan yang sama, “Apa yang sedang Anda kerjakan?” Yang cemberut menjawab, “Saya sedang menumpuk batu.” Yang ceria berkata, “Saya sedang membangun menara mesjid!” Yang kedua telah mengangkat pekerjaan “menumpuk bata” pada dataran makna yang lebih luhur.

“The fifth and final component of spiritual intelligence refers to the capacity to engage in virtuous behavior: to show forgiveness, to express gratitude, to be humble, to display compassion and wisdom,” tulis Emmons. Memberi maaf, bersyukur atau mengungkapkan terimakasih, bersikap rendah hati, menunjukkan kasih sayang dan kearifan, hanyalah sebagian dari kebajikan. Karakteristik terakhir ini mungkin disimpulkan dalam sabda nabi Muhammad saw, “Amal paling utama ialah engkau masukkan rasa bahagia pada sesama manusia.”

BAGAIMANA MENINGKATKAN SQ 
Jadilah suri tauladan spiritual. Orang tua atau guru yang bermaksud mengembangkan SQ anak haruslah seseorang yang sudah mengalami kesadaran spiritual juga. Ia sudah “mengakses” sumber-sumber spiritual untuk mengembangkan dirinya. Seperti disebutkan di atas yakni karakteristik orang yang cerdas secara spiritual, ia harus dapat merasakan kehadiran dan peranan Tuhan dalam hidupnya. “Spiritual intelligence is the faculty of our non-material dimension- the human soul,” kata Khalil Khavari. Ia harus sudah menemukan makna hidupnya dan mengalami hidup yang bermakna. Ia tampak pada orang-orang di sekitarnya sebagai “orang yang berjalan dengan membawa cahaya.” (Al-Quran 6:122) 

Ia tahu ke mana ia harus mengarahkan bahteranya. Ia pun menunjukkan tetap bahagia di tengah taufan dan badai yang melandanya. “Spiritual intelligence empowers us to be happy in spite of circumstances and not because of them,” masih kata Khavari. Bayangkalah masa kecil kita dahulu. Betapa banyaknya perilaku kita terilhami oleh orang-orang yang sekarang kita kenal sebagai orang yang ber SQ tinggi. Dan orang-orang itu boleh jadi orang-tua kita, atau guru kita, atau orang-orang kecil di sekitar kita.

Baca Kitab Suci. Setiap agama pasti punya kitab suci. Begitu keterangan guru-guru kita. Tetapi tidak setiap orang menyediakan waktu khusus untuk memperbincangkan kitab suci dengan klien atau anak-anaknya. Di antara pemikir besar islam, yang memasukkan kembali dimensi ruhaniah ke dalam khazanah pemikiran Islam, adalah Dari Muhammad Iqbal. Walaupun ia dibesarkan dalam tradisi intelektual barat, ia melakukan pengembaraan ruhaniah bersama Jalaluddin Rumi dan tokoh-tokoh sufi lainnya. Boleh jadi, yang membawa Iqbal ke situ adalah pengalaman masa kecilnya.
Setiap selesai salat Subuh, ia membaca Al-Quran. Pada suatu hari, bapaknya berkata, “Bacalah Al-Quran seakan-akan ia diturunkan untukmu!” Setelah itu, kata Iqbal, “aku merasakan Al-Quran seakan-akan berbicara kepadaku.”

Ceritakan kisah-kisah agung. Klien atau Anak-anak, bahkan orang dewasa, sangat terpengaruh dengan cerita. “Manusia,” kata Gerbner, “adalah satu-satunya makhluk yang suka bercerita dan hidup berdasarkan cerita yang dipercayainya.” Para Nabi mengajar umatnya dengan parabel atau kisah perumpamaan. Para sufi seperti Al-‘Attar, Rumi, Sa’di mengajarkan kearifan perenial dengan cerita. Sekarang Jack Canfield memberikan inspirasi pada jutaan orang melalui Chicken Soup-nya. Kita tidak akan kekurangan cerita luhur, bila kita bersedia menerima cerita itu dari semua sumber.

Diskusikan berbagai persoalan dengan perspektif ruhaniah. Melihat dari perspektif ruhaniah artinya memberikan makna dengan merujuk pada Rencana Agung Ilahi (divine grand Design). Mengapa hidup kita menderita? Kita sedang diuji Tuhan. Dengan mengutip Rumi secara bebas, katakan kepada anak kita bahwa bunga mawar di taman bunga hanya mekar setelah langit menangis. Anak kecil tahu bahwa ia hanya akan memperoleh air susu dari dada ibunya setelah menangis. Penderitaan adalah cara Tuhan untuk membuat kita menangis. Menangislah supaya Sang Maha Agung memberikan susu keabadian kepadamu. Mengapa kita bahagia? Perhatikan bagaimana Tuhan selalu mengasihi kita, berkhidmat melayani keperluan kita, bahkan jauh sebelum kita dapat menyebut asma-Nya.

Libatkan klien, keluaraga atau anak dalam kegiatan-kegiatan ritual keagamaan. Kegiatan agama adalah cara praktis untuk “tune in” dengan Sumber dari Segala Kekuatan. Ambillah bola lampu listrik di rumah Anda. Bahaslah bentuknya, strukturnya, komponen-komponennya, kekutan cahayanya, voltasenya, dan sebagainya. Anda pasti menggunakan sains. Kegiatan agama adalah kabel yang menghubungkan bola lampu itu dengan sumber cahaya. Sembahyang, dalam bentuk apa pun, mengangkat manusia dari pengalaman fisikal dan material ke pengalaman spiritual. Untuk itu, kegiatan keagamaan tidak boleh dilakukan dengan terlalu banyak menekankan hal-hal yang formal. Berikan kepada anak-anak kita makna batiniah dari setiap ritus yang kita lakukan. Sembahyang bukan sekedar kewajiban. Sembahyang adalah kehormatan untuk menghadap Dia yang Mahakasih dan Mahasayang!

Bacakan puisi-puisi, atau lagu-lagu yang spiritual dan inspirasional. Seperti kita sebutkan di atas, manusia mempunyai dua fakultas –fakultas untuk mencerap hal-hal material dan fakultas untuk mencerap hal-hal spiritual. Kita punya mata lahir dan mata batin. Ketika kita berkata “masakan ini pahit”, kita sedang menggunakan indra lahiriah kita. Tetapi ketika kita berkata “keputusan ini pahit”, kita sedang menggunakan indra batiniah kita. Empati, cinta, kedamaian, keindahan hanya dapat dicerap dengan fakultas spiritual kita (Ini yang kita sebut sbg SQ). SQ harus dilatih. Salah satu cara melatih SQ ialah menyanyikan lagu-lagu ruhaniah atau membacakan puisi-puisi. Jika Plato berkata “pada sentuhan cinta semua orang menjadi pujangga”, kita dapat berkata “pada sentuhan puisi semua orang menjadi pecinta.”

Bawa klien, keluarga atau anak untuk menikmati keindahan alam. Teknologi moderen dan kehidupan urban membuat kita teralienasi dari alam. Kita tidak akrab lagi dengan alam. Setiap hari kita berhubungan dengan alam yang sudah dicemari, dimanipulasi, dirusak. Alam tampak di depan kita sebagai musuh setelah kita memusuhinya. Bawalah anak-anak kita kepada alam yang relatif belum banyak tercemari. Ajak mereka naik ke puncak gunung. Rasakan udara yang segar dan sejuk.
Dengarkan burung-burung yang berkicau dengan bebas. Hirup wewangian alami. Ajak mereka ke pantai. Rasakan angin yang menerpa tubuh. Celupkan kaki kita dan biarkan ombak kecil mengelus-elus jemarinya. Dan seterusnya. Kita harus menyediakan waktu khusus bersama mereka untuk menikmati ciptaan Tuhan, setelah setiap hari kita dipengapkan oleh ciptaan kita sendiri.

Bawa klien atau anak kita ke tempat-tempat orang yang menderita. Nabi Musa pernah berjumpa dengan Tuhan di Bukit Sinai. Setelah ia kembali ke kaumnya, ia merindukan pertemuan dengan Dia. Ia bermunajat, “Tuhanku, di mana bisa kutemui Engkau.” Tuhan berfirman, “Temuilah aku di tengah-tengah orang-orang yang hancur hatinya.” 

Ikut-sertakan anak dalam kegiatan-kegiatan sosial. Saya teringat cerita nyata dari Canfield dalam Chicken Soup for the Teens. Ia bercerita tentang seorang anak yang “catatan kejahatannya lebih panjang dari tangannya.” Anak itu pemberang, pemberontak, dan ditakuti baik oleh guru maupun kawan-kawannya. Dalam sebuah acara perkemahan, pelatih memberikan tugas kepadanya untuk mengumpulkan makanan untuk disumbangkan bagi penduduk yang termiskin. Ia berhasil memimpin kawan-kawannya untuk mengumpulkan dan membagikan makanan dalam jumlah yang memecahkan rekor kegiatan sosial selama ini. Setelah makanan, mereka mengumpulkan selimut dan alat-alat rumah tangga. Dalam beberapa minggu saja, anak yang pemberang itu berubah menjadi anak yang lembut dan penuh kasih. Seperti dilahirkan kembali, ia menjadi anak yang baik rajin, penyayang, dan penuh tanggungjawab. 
Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Anak. Sumber : Jalaluddin Rakhmat
http://www.muthahhari.or.id/doc/artikel/sqanak.htm

7 komentar :

apsara villa mengatakan...

kecerdasan spiritual sangat diperlukan untuk memecahkan masalah dalam berbisnis

promotional products mengatakan...

Your article was quite intriguing and the information quite useful. Will check your site often to see other great posts you make! Regards promotional products

antibacterial tissues mengatakan...

Great and fantastic blog. I am interested very much in the subject matter of your blog, it’s my first visit.

Unknown mengatakan...

Good post man, just looking around some blogs, seems a pretty nice platform you are using.
logo products

logo promotion mengatakan...

Great post. Keep up the good job.

product promotion mengatakan...

Great post, and great website.

Kabel tray surabaya mengatakan...

Ya saya setuju jika agama itu diibaratkan sebagai kabel penghubung antara manusia dan agamnya. Karena dengan begitu akan terjalin suatu ikatan yang kuat, iman dan kepercayaan. Indonesia merupakan negara dengan banyak kota seperti jakarta, bandung, surabaya, dll yang tentu memiliki banyak agama sehingga tentu mereka mempunyai kepercayaan yang berbeda. Saya setuju apabila kecerdasan spiritual itu kecerdasan yang paling tinggi, karena di dalam kecerdasan ini terdapat sumber pengetahuan.

Posting Komentar

Blog ini Dofollow, Jika Anda suka, klik salah satu iklan. Jika tidak sempat, terima kasih atas kunjungannya.

 

Pengikut

© Copyright 2011 All rights reserved | www.intuisibisnis.com is proudly powered by INTUISI BISNIS KREATIVITAS VISION | Template by o-om.com - PRAYA URIP Store